Breaking News

Yayasan Cahaya Timur Nusantara Emas Gelar Festival Seni & Budaya Nasional di Sulawesi Utara, Angkat Sejarah Bolaang Mongondow Raya

RadarAruNews). Ketua Umum Yayasan Cahaya Timur Nusantara Emas, Johanis Eddy Fentus Tuwul, yang biasa disapa Bung Jefri, berencana menyelenggarakan pergelaran seni dan budaya berskala nasional di wilayah Sulawesi Utara (SULUT). 

Festival ini akan mengusung tajuk MOTOBATU MOROPOT MOLINTAK ART and CULTURE FESTIVAL dengan mengangkat kembali perjalanan sejarah Raja Loloda Mokoagow. Bung Jefri, yang berasal dari Maluku, menjelaskan bahwa Bolaang Mongondow Raya (BMR) mencakup sejarah panjang dari masa kerajaan hingga wacana pembentukan provinsi baru, memiliki akar budaya dan administrasi yang mendalam di Sulawesi Utara, serta identitas kuat yang dibentuk oleh Kerajaan Bolaang Mongondow. Wilayah ini kini sedang dalam proses pemekaran menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB).
Dalam rangka persiapan festival ini, Bung Jefri telah berdiskusi dengan Pemerhati sejarah di Kotamobagu, Aipda Sumitro Tegela, terkait Sejarah Kerajaan Bolaang Mongondow. Kerajaan ini berdiri sejak abad ke-13 dan berkuasa hingga abad ke-20, menjadi pusat kekuasaan politik dan budaya bagi Suku Mongondow. Nama "Bolaang" berasal dari kata bolango atau balangon yang berarti laut, sedangkan "Mongondow" dari momondow yang berarti berseru tanda kemenangan. Kerajaan yang awalnya bernama Kerajaan Bolaang dan dikenal oleh pelaut Eropa sebagai Rey de Boulan ini, mencatat Mokodoludut sebagai raja pertama sekitar tahun 1280.

Pada masa kejayaannya, wilayah kerajaan mencakup Bolaang, Kotamobagu, Manado, dan sebagian Minahasa. Namun, pengaruhnya mulai berkurang pada abad ke-18 akibat aneksasi oleh VOC. Nama "Bolaang Mongondow" mulai digunakan sebagai penanda berakhirnya era keemasan kerajaan maritim tersebut. Secara historis, Bolaang Mongondow Raya terdiri dari empat kerajaan—Mongondow, Kaidipang Besar, Bintauna, dan Bolang Uki—yang membentuk Swapraja Federasi Serikat Bolaang Mongondow dengan Kotamobagu sebagai pusat federasi, yang merepresentasikan kekayaan akulturasi sejarah dan adat budaya BMR. 

Sejarah mencatat, pada 1 Juli 1950, para Raja dan swapraja gabungan Bolaang Mongondow melepas sistem monarki dan memilih bergabung dalam peradaban baru Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setelah era kerajaan, wilayah Bolaang Mongondow menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Utara sebagai kabupaten otonom. Seiring pertumbuhan penduduk dan kebutuhan pelayanan publik yang lebih efektif, Yayasan Cahaya Timur Nusantara Emas memandang pentingnya Festival skala Nasional ini. Acara ini direncanakan akan dihadiri oleh pejabat dari Pusat dan beberapa Negara sahabat, sehingga mereka dapat melihat langsung kondisi yang ada di wilayah Bolmong Raya, khususnya terkait wacana pemekaran wilayah menjadi Provinsi Bolaang Mongondow Raya (BMR). Wacana yang sempat tertunda akibat pandemi Covid-19 ini kini kembali menguat dan telah masuk dalam daftar 32 calon daerah otonomi baru (DOB) di Indonesia. Rencana pemekaran ini melibatkan lima wilayah administratif: Kabupaten Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow Timur, Bolaang Mongondow Selatan, dan Kota Kotamobagu, dengan total luas wilayah sekitar 7.754,66 km2 dan populasi lebih dari 630 ribu jiwa. Bung Jefri Tuwul menambahkan, sudah saatnya Kota Kotamobagu diusulkan sebagai ibu kota provinsi baru, mengingat posisi strategis dan perkembangan infrastrukturnya.
Pembentukan Provinsi Bolmong Raya diharapkan dapat mempercepat pemerataan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemerintahan yang lebih dekat, sehingga akses terhadap layanan publik menjadi lebih efisien. Selain itu, wilayah ini memiliki potensi ekonomi yang besar di sektor pertanian, pertambangan, perikanan, dan pariwisata—termasuk situs-situs arkeologi dan warisan budaya—yang dapat dikembangkan secara optimal dengan otonomi penuh. Dukungan dari lembaga nasional seperti DPD RI juga semakin kuat, menjadikan wacana BMR bukan sekadar aspirasi politik, melainkan solusi strategis untuk percepatan pembangunan di kawasan utara Sulawesi. "Maka dari itu, kami mohon support dari para pejabat daerah dan tokoh-tokoh masyarakat sehingga acara Festival ini bisa berjalan," tutur Bung Jefri Tuwul, Ketua Umum Yayasan Cahaya Timur Nusantara Emas.

(H.L)

Iklan Disini

Type and hit Enter to search

Close